Selasa, 03 Mei 2011

Apakah Kita Perlu Membangun Bangunan Tinggi Seperti Empire State Building ? Kenapa Indonesia Tidak Membangun Bangunan Pencakar Langit ? Apakah Kita Perlu Membangun Bangunan Tinggi Seperti Empire State Building ? Kenapa Indonesia Tidak Membangun Bangunan Pencakar Langit ?




Bangunan tinggi Empire State Building telah menjadi salah satu icon tersendiri di Amerika Serikat khususnya kota New York. Dibangun dengan ketinggian mencapai 102 lantai dengan struktur utama rigid frame pada tahun 1931, bangunan ini dinilai sebagai kemajuan teknologi dalam bidang konstruksi pada saat itu. Empire State Building kemudian dinobatkan sebagai bangunan tertinggi di dunia, dan bertahan selama kurang lebih 40 tahun sampai berdirinya menara kembar World Trade Center pada tahun 1972. Seiring dengan perkembangan zaman dan pengetahuan teknologi konstruksi yang semakin berkembang, bangunan-bangunan pencakar langit lainnya bermunculan seperti Sears Tower, Menara Petronas di Malaysia, dan yang belakangan ini sedang hangat dibicarakan yaitu Al Burj Dubai yang sangat fenomenal.

Melihat prestasi Amerika Serikat yang sudah dapat mendirikan bangunan tinggi pada tahun 1931 merupakan hal yang luar biasa. Bangunan dengan ketinggian 381 m tersebut bahkan sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka. Dan sampai saat ini, belum ada bangunan pencakar langit setinggi itu di Indonesia. Ini menunjukan bahwa kita bangsa Indonesia sudah tertinggal selama kurang lebih 80 tahun dari Amerika Serikat. Lalu muncul pertanyaan yang juga menjadi issue pembahasan dari tulisan ini yaitu Apakah perlu kita membangun bangunan setinggi 100 lantai demi mengejar ketertinggalan teknologi konstruksi dari Amerika Serikat?

Menurut saya, kita tidak perlu membangun bangunan setinggi 100 lantai atau lebih demi mengejar ketertinggalan kita dari Amerika Serikat dan menunjukkan pada dunia bahwa bangsa kita sudah maju dalam hal teknologi konstruksi. Tahun 1931 hingga tahun 2010 merupakan kurun waktu yang sangat panjang. Telah terjadi kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang konstruksi. Issue mengenai teknologi sudah berubah, teknologi zaman dulu yang disebut juga teknologi fosil kini sudah berganti menjadi teknologi tata surya. Bahan baku konstruksi seperti beton, baja, ataupun baja ringan kini sudah menjadi hal yang biasa. Jenis struktur yang umum dipakai dalam membangun bangunan tinggi seperti rangka kaku ( rigid frame ), dinding geser ( shear wall ), rangka di dalam rangka ( tube in tube ),dan sebagainya jika diterapkan pada saat ini sudah tidak menunjukkan kemajuan teknologi yang berarti, karena di beberapa negara maju dan berkembangpun telah menerapkan sistem teknologi seperti ini. Bukan berarti kita tidak boleh membangun bangunan pencakar langit. Belakangan ini terdengar kabar bahwa Indonesia akan memiliki gedung pencakar langit yaitu Menara Jakarta. Kabarnya menara tersebut memiliki ketinggian 558 m dan direncanakan selesai didirikan pada tahun 2012. Hal ini tentunya akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

Apa yang kita hadapi saat ini adalah krisis energi, pemanasan global dan krisis sumber daya alam lainnya. Mengacu pada krisis energi listrik misalnya, belakangan ini sudah banyak dibicarakan tentang panel photovoltaic yang dapat diterapkan dibangunan perumahan. Panel tersebut merupakan alat pembangkit tenaga listrik melalui tenaga matahari. Tenaga matahari tidak akan habis dan gratis, ini berarti penggunaan photovoltaic dapat menghemat biaya operasional dan dapat menjadi pilihan dalam upaya menghemat energi. Suatu jawaban terhadap tantangan krisis pada saat ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan teknologi.

Jadi menurut saya, untuk menunjukkan bahwa bangsa kita sudah maju dalam bidang teknologi ialah dengan mengembangkan suatu teknologi yang mampu menjawab tantangan masa kini. Dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada pada saat ini kita dapat mengembangkan suatu teknologi yang hemat energi khususnya dalam bidang arsitektur dengan menerapkan teknologi tata surya pada perumahan maupun pada bangunan tinggi. Tentunya pengembangan teknologi tidak sebatas pada tata surya saja, sumber daya alam lainnya seperti angin, thermal, air dan sebagainya dapat diolah menjadi sumber energi yang mampu menghemat biaya operasional sebuah bangunan.

Dari uraian pada halaman sebelumnya, dijelaskan jika kita bangsa Indonesia tidak perlu membangun bangunan pencakar langit demi mengejar ketertinggalan kita di bidang teknologi konstruksi. Issue tantangan krisis energi yang dewasa ini menjadi permasalahan yang penting dan perkembangan teknologi yang pesat dalam menjawab tantangan krisis tersebut menjadi pertimbangan untuk tidak membangun bangunan tinggi, melainkan cenderung lebih kepada mencari cara untuk mengatasi krisis tersebut. Kemudian muncul suatu pertanyaan yang akan menjadi pembahasan selanjutnya, “ Kenapa negara-negara berkembang / negara-negara maju terus membangun bangunan tinggi / pencakar langit pada saat ini ? “

Peradaban manusia memang tak henti-hentinya membangun bangunan tinggi. Dimulai dengan Piramid Giza dan Taman Gantung di Babylonia ribuan tahun lalu, menara Eiffel pada akhir abad 19, sampai gedung Empire State Building pada awal abad 20. Sejak itulah muncul bangunan-bangunan tinggi pencakar langit lainnya seperti CN Tower, Sears Tower, Petronas Tower dan yang terakhir Burj Dubai.

Bicara bangunan pencakar langit berarti bicara gengsi, kebanggaan, dan juga tourism / pariwisata. Keberadaan gedung pencakar langit di Indonesia tentunya membawa kebanggan tersendiri dan menghasilkan devisa negara. Bangunan tinggi juga merefleksikan kekuatan politik dan ekonomi suatu negara. Mendirikan suatu bangunan tinggi pencakar langit seperti Burj Dubai atau Empire State Building bukanlah masalah mensiasati lahan yang semakin sempit / terbatas dan memiliki harga yang mahal. Jelas prestis dan kebanggaan untuk menjadi negara yang iconic-lah yang menjadi alasan didirikannya bangunan-bangunan pencakar langit.

Permasalahannya apakah Indonesia benar-benar membutuhkan menara setinggi 100 lantai atau lebih? Secara teknis tak banyak orang yang ingin tinggal atau bekerja di level lantai yang terlalu tinggi. Semakin tinggi lantai sebuah bangunan, semakin tinggi juga biaya sewanya. Hal ini membatasi segmen pasar pada orang-orang kalangan atas yang jumlahnya tidak banyak di Indonesia. Lalu akan diisi dengan fungsi apa bangunan tersebut kalau aktifitas yang ada tidak menuntut ruang setinggi bangunan pencakar langit.

Faktor ekonomi juga menjadi masalah tersendiri. Dengan berdirinya suatu gedung pencakar langit menandakan perekonomian suatu negara yang kuat. Namun, beberapa fakta menunjukkan adanya krisis ekonomi ketika suatu bangunan tinggi selesai dibangun. Misal, ketika Empire State Building dibangun, beberapa tahun kemudian Great Depression malah melanda Amerika dan pengaruhnya menyebar ke seantero dunia. Setelah Sears Tower dan World Trade Center kelar, ekonomi Amerika tersungkur dan pengangguran meningkat tajam dekade itu. Ketika Petronas Tower dibangun, krisis moneter meluluhlantakkan Asia. Dan bahkan ketika BNI Tower dibangun, setahun kemudian kita dihajar krisis moneter.

Jadi menurut saya, kebanggaan dan prestis-lah yang menjadi alasan utama negara-negara berkembang dan negara-negara maju terus mendirikian bangunan pencakar langit disamping mendatangkan devisa. Karena kalau dilihat dari segi ekonomi, Dubai-pun sedang dililit hutang yang angkanya mencapai ratusan milliar dollar AS ketika membangun bangunan pencakar langit Al Burj. Jadi, icon berdirinya bangunan pencakar langit tidak selalu menandakan kondisi perekonomian yang kuat pada suatu negara. Menurut saya, proposal desain dan perhitungan keuntungan bangunan tinggi dalam jangka panjang berperan penting untuk meyakinkan pemerintah negara dalam mendirikan bangunan pencakar langit tersebut. Namun demikian, untuk keuntungan jangka panjang kita dapat mengembangkan suatu teknologi pada bangunan tinggi yang hemat energi. Contoh seperti yang dikembangkan oleh Kenneth Yeang, yaitu arsitektur bioklimatik. Arsitektur ini memperhatikan lingkungan merupakan arsitektur masa depan, karena dalam arsitektur jenis ini akan didapatkan penyelesaian yang baik untuk menanggapi iklim tanpa menggunakan lebih banyak resource sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui seperti minyak bumi untuk mempertahankan kondisi ideal bangunan, misalnya suhu, kelembaban, serta pencahayaan dan penghawaan.

1 komentar: